Kamis, 30 Juni 2016

Tiga Bait



Hallo, bagaimana kabar teman-teman semua? Pada kesempatan kali ini saya ingin memposting coretan-coretan dari buku saya, sekalian ini untuk tugas akhir mata kuliah `PUISI` yang sudah rampung dikumpulkan. Jadi dari pada nganggur tidak terbaca di buku alangkah baiknya jika saya share disini, semoga bermanfaat.

Senja Berkabut

BELUM MENJADI NYATA
Mencoba menuang rasa
Mencoba mengukir dunia
Memulai dari hati
Namun tetap juga tak berarti
Mimpi yang terangkai 
Angan yang membumbung tinggi 
Jiwa yang melayang jauh 
Terhempas layaknya debu
Kecewa tidak lagi terasa
Ada yang lebih menyiksa
Bukan usahanya yang salah
Cara melangkah yang salah
Atau do`a yang salah
Mungkin hanya soal waktu

SENJA BERKABUT
Serpihan hati terangkai
Kala senja tak lagi jingga
Dalam bingkai duka dan lara
Air mata tidak lagi ada
Dalam rupa semestinya
Alunan manja seketika sirna 
Barangkali turut terkubur dibawah nisan 
Menemani jerit tangis kematian 
Hingga semesta turut berduka
Sulit untuk ikhlas
Dia tidak akan kembali
Karena abadi di surganya
Bersama kemegahannya
Menikmati kado terindah dari sang pencipta
Dan tidak akan kembali



Cerpen


Buruh Cuci

Pagi itu sinar mentari hangat menerpa bumi. Kicauan burung seakan turut mewarnai pagi. Ku buka tirai jendela yang menghalangi pandangan untuk melihat keadaan di luar. Rupanya belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Hanya ada beberapa orang yang berlalu sambil mengayuh sepeda tuanya. Jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh. Aku baru saja terjaga dari tidurku.
“La, bangun! Ibu berangkat kepasar dulu. Nanti tolong antarkan cucian kerumah bu Yeni” teriak ibu yang mungkin sedang berada di dapur.
 “Iya bu” jawabku dengan suara yang masih serak.
Seperti biasa setiap hari minggu aku disuruh mengantarkan cucian ke beberapa tempat langganan ibu. Ya, ibuku hanyalah seorang buruh cuci yang tidak setiap hari mendapatkan gaji. Penghasilan ibu hanya cukup untuk makan kami sekeluarga, terkadang juga masih kurang. Ayah  mencoba mengais rejeki menjadi seorang kuli bangunan demi biaya sekolahku dan adik. Tetapi syukurlah, Tuhan selalu memberikan jalan bagi hambanya yang mau berusaha. Kami sekeluarga memang hidup pas-pasan, tetapi kesederhanaan dalam keluarga kami terasa membahagiakan.
Sekitar pukul sembilan pagi, aku berangkat kerumah bu Yeni dengan menenteng beberapa baju cucian. Kupacu gas motor sedikit cepat. Biasanya aku menggunakan sepeda pancal untuk mengantarkan baju-baju itu. Akan tetapi karena hari ini sedang mager alias malas gerak, maka aku memilih melaju cepat bersama asap motor. Selesai dari rumah bu Yeni aku berencana kerumah Vera untuk menyelesaikan beberapa tugas sekolah.
Tut..tut..tut. Ponselku berdering. Satu pesan masuk dari Vera.
“Lala cepatlah kerumah ku, tugas sudah menunggu”
Setelah kuserahkan baju-baju milik bu Yeni, aku segera meluncur kerumah Vera. Menyusuri aspal hitam yang diselimuti debu. Pepohonan di tepi jalan sesekali melambai-lambai diterpa angin. Sinar mentari yang tadinya hangat kini sudah berganti panas yang cukup membakar kulit. Sang raja siang sepertinya sudah sampai ditengah perjalanan. Kulihat beberapa warga desa masih asyik bergulat dengan lumpur, sebagian lagi ada yang sedang beristirahat di gubuk yang memang sengaja dibuat untuk sejenak melepas lelah. Rasa panas ataupun lumpur yang menerpa tubuh mereka seakan sama sekali tidak menghalangi semangatnya untuk bekerja. Itu semua mereka lalukan demi keluarga dan mungkin juga demi menyambung hidup.
Belum sampai di tempat tujuan aku bertemu dengan seseorang. Kaya dan sadis, begitu tetangga sering memanggilnya. Aku sendiri tidak mengenalnya dengan akrab, tetapi yang aku tau beliau adalah seorang pekerja kantoran. Beliau termasuk orang yang cukup berada, namanya bu Rina, langganan ibu.
“Lala!!”
Mendengar namaku dipanggil dengan cukup keras, ku hentikan laju motor, menepi. Kulihat bu Rina mempercepat langkahnya menuju arahku.
“Iya, ada apa bu? “ jawabku sambil melihat beberapa baju di tangan kanannya.
“Oh mungkin akan dititipkan untuk dicuci” fikirku.
Wajah bu Rina terlihat tegang sebelum ia melontarkan beberapa pertanyaan.
“Kamu Lala kan, anak tukang cuci itu ?”
“Benar, ada apa bu?” tanyaku sedikit penasaran.
Entah apa yang ada dalam fikiran bu Rina, baju yang ia bawa tiba-tiba dilemparkan tepat di wajahku. Kaget, bingung, marah, ingin teriak, seakan semua ingin kulakukan secara bersamaan. Tapi apa daya, aku hanya bisa terdiam, mematung.
“Tukang cuci tidak pecus. Kenapa beberapa baju saya bisa rusak seperti ini. Ini baju mahal, bahkan lebih mahal dari motor butut kamu. Memangnya kamu bisa mengganti?”
“Maaf bu, saya tidak tau apa-apa tentang baju itu.”
“Baju itu robek semuanya, kamu tidak lihat?”
“Ibu saya juga mencuci seperti biasa. Mungkin memang baju itu sudah rusak sebelumnya, atau ....”
“Atau apa, atau memang ibu kamu sengaja merusaknya. Dasar tukang cuci, miskin!”
Tidak terasa air mataku menetes. Ingin rasanya aku berteriak sekencang-kencangnya. Inikah perlakuan yang pantas untuk orang miskin seperti aku? Inikah penghargaan terbaik untuk seorang buruh cuci seperti ibuku? Cacian, hingga jatuhnya harga diri apakah harus diterima dengan besar hati? Ku ambil baju yang berserakan di depanku. Memang benar, kulihat ada bagian baju yang robek. Ku urungkan niatku pergi ke rumah Vera. “Vera maaf, aku ada kepentingan mendadak, tidak bisa datang kerumah kamu”
“Oke deh.” Jawab vera diseberang sana. Setelah menutup telefon. Aku berbalik arah, kembali ke rumah. Sesampainya dirumah kuceritakan kejadian yang kurang mengenakkan tersebut kepada ibu. Ibu hanya tersenyum.
“Sudahlah nak, bu Rina memang seperti itu orangnya. Jangan diambil hati” tutur ibu.
Oh ibu, kenapa setiap pengaduanku kau balas dengan rasa kesabaran yang begitu mendamaikan jiwa, seakan amarahku yang ada diubun-ubun melebur seketika.
“Coba ibu lihat, apakah baju itu benar-benar rusak karena ibu?”
“Tidak. Ibu rasa baju ini masih baik-baik saja kemarin.” Jawab ibu sambil melihat baju bu Rina.”
“Besok ibu akan mengembalikan baju-baju ini, mungkin saja ini salah paham”
Keesokan harinya setelah mengantarkan adik ke sekolah ibu dan juga aku pergi menemui bu Rina. Tidak lupa beberapa helai baju robek milik bu Rina juga turut ibu bawa. Kebetulan aku libur sekolah hari itu.
“Permisi.”
“Iya, sebentar” jawab seseorang dari dalam ruangan. Suara itu tidak asing lagi. Ya, itu suara  bu Rina.
“Ada apa pagi-pagi datang kesini? Sudah bisa mengganti baju saya?” tanya bu Rina dengan ketus.
“Bu Rina, kedatangan saya ke sini untuk mengembalikan baju-baju ibu kemarin. Sepertinya disini ada salah paham. Kemarin sewaktu saya mencuci baju ibu, baju-bajunya masih baik-baik saja dan sayapun juga mencuci seperti biasanya, tanpa mesin cuci.”
Mendengar penjelasan ibu, bu Rina semakin marah. Aku hanya terdiam mendengar ocehan-ocehan bu Rina yang semakin kesana-kemari, dan sekali lagi ibuku hanya tersenyum santai menanggapinya. Ah, katanya ia orang kaya. Bukankah pundi-pundi rupiahnya banyak. Lalu kenapa baju robek saja dipermasalahkan sedemikian rupa. Apa karena itu baju wasiat atau semacam baju keramat. Apakah dengan robeknya baju itu sebagian hartanya akan menghilang? Konyol.
Beberapa menit kemudian suasana semakin memanas. Pembicaraan dua wanita paruh baya itu layaknya debat antar pejabat negara, tidak ada yang mau mengalah. Sepertinya emosi ibu sudah naik. Di luar ruangan terlihat beberapa warga yang memperhatikan. Sesekali sebagian dari mereka saling berbisik. Malu, sudah pasti aku merasakannya. Tiba-tiba sosok gadis cantik berambut sebahu menampakkan hidungnya dari balik pintu disudut ruangan. Tina, anak bu Rina keluar menghampiri kami dengan sedikit bingung.
“Ada apa bu, berisik sekali?”
“Baju ibu rusak gara-gara tukang cuci ini.” jawab bu Rina sambil menunjuk ibu. Ingin rasanya aku menerkam jari telunjuk itu layaknya singa yang menerkam musuh. Dia wanita terhebat dalam hidupku, dia ibuku. Ibu yang tidak pantas dihina oleh siapapun.
Tina yang melihat beberapa baju berserakan dimeja tiba-tiba tersentak kaget. Ia seperti mengingat sesuatu tentang baju itu. Ah, semoga saja Tina tidak ikut-ikutan marah layaknya bu Rina. Suasana hening seketika.
“Sepertinya ibu selalu melupakan sesuatu.” kata Tina mengagetkan lamunanku.
“Kamu pikir ibu sudah pikun. Memangnya ibu lupa apa?” jawab bu Rina ketus.
“Bukankah baju itu yang ibu pakai pergi ke pasar? Ibu bilang sepulang dari pasar ibu tertabrak becak hingga baju itu robek. Untuk baju yang yang satunya lagi memang sudah robek sewaktu Tina pinjam untuk pementasan drama di sekolah.”
Mendengar penjelasan dari putri semata wayangnya wajah bu Rina terlihat memerah, entah karena malu atau karena apa. Tanpa basa-basi ia menyeret tangan Tina sambil membawa baju-bajunya. Ditutup pintu kamar dengan keras. Entah apa yang terjadi di dalam sana, yang jelas semua tidak akan sesadis kasus pembunuhan. Akupun segera pulang bersama ibu.
Sepanjang perjalanan pulang aku dan ibu hanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing. Hanya karena baju robek masalah bisa sedemikian rumit. Mungkin itulah hidup. Banyak hal kecil yang dibesar-besarkan, dan ada pula yang justru sebaliknya. Sebagian waktu di hari itu telah tersita demi menyelesaikan satu masalah.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku mendengar cerita tidak mengenakkan dari salah satu tetangga. Langganan ibu juga jarang yang datang kerumah. Sudah pasti penghasilan ibu menjadi berkurang, bahkan tidak berpenghasilan. Akhirnya ibu terpaksa mencari pekerjaan yang lain demi uang saku adik ke sekolah untuk sementara waktu. Awalnya bapak tidak mengetahui masalah ini. Aku dan ibu juga berjanji tidak akan memberitahunya. Entah siapa yang membocorkan, tiba-tiba suatu malam bapak marah sangat marah kepada ibu. Mungkin bapak mengira aku dan adik sudah terlelap bersama mimpi-mimpi indah. Tetapi aku bahkan belum bisa memejamkan kedua mataku. Bersama heningnya malam, aku mendengar tangisan ibu di kamar sebelah. Ingin rasanya aku berlari dan memeluk ibu, setidaknya itu dapat menenangkan. Namun itu tidak akan pernah terjadi. Bapak akan sangat marah apabila ada anaknya yang ikut terlibat dalam pertengkarannya bersama ibu. Maafkan aku bu. Aku bahkan tidak bisa mengusap air matamu.
Hembusan angin malam semakin membuat tubuhku menggigil. Suasana rumah sudah sepi. Terdengar suara pintu tertutup dengan keras lalu dilanjutkan dengan deru mesin motor. Bapak pergi entah kemana. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Hampir tengah malam.
“Bu, apakah ibu sudah tidur?” tanyaku dengan lirih. Lama tidak ada jawaban. Ingin rasanya melihat ibu dikamar akan tetapi keberanianku tidak mampu melangkahkan kakiku untuk menuju kamar ibu. Apakah ibu sudah berhenti menangis? Apakah wajah ibu lebam seperti pertengkaranya waktu itu?
Pagi hari setelah pertengkarannya dengan ibu, bapak masih belum terlihat dirumah. Motor yang biasanya pagi-pagi sekali diparkir dihalaman juga tidak ada. Entahlah. Aku terlalu sibuk, tidak sempat untuk memikirkan keberadaan motor.
“Lala, Yeni, sarapan dulu nak”
“Iya bu.” Sahut Yeni. Aku dan adikku segera berlari menuju dapur. Beberapa sendok nasi dan lauk seadanya telah meluncur memenuhi sebagian perutku. Tidak lupa satu gelas air putih mengalir lancar melewati sela-sela tenggorokan. Masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah. Seusai sarapan aku duduk diteras rumah. Menikmati udara pagi yang sejuk khas pedesaan, tanpa asap motor ataupun bisingnya suara kendaraan yang berlalu-lalang. Dari jauh terlihat sesosok lelaki dengan motor hitam menuju arah rumahku. Bapak. Syukurlah, ia sudah kembali ke rumah.
“Dari mana pak?” tanyaku.
“Cari angin.” Jawabnya singkat sebelum ia memasuki rumah. Bapak memang bukan orang yang banyak bicara, tetapi beliau tetaplah seorang bapak yang dapat menjelma menjadi seorang pahlawan bagi anak-anaknya.
Tidak lama kemudian bapak keluar untuk mengantarkan adik berangkat kesekolah. Aku masih saja bersantai di teras, karena memang jarak sekolah cukup dekat dengan rumah. Biasanya aku berangkat lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Setelah bapak berangkat, tiba-tiba datang dua orang perempuan. Berwajahkan aneh, boleh dibilang sedikit memelas. Aku terperanjat kaget. Ingin rasanya pura-pura tidak tau dan lari ke dalam rumah. Namun ibarat nasi sudah menjadi bubur. Dua wanita itu sudah berdiri tepat di depanku.
“Selamat pagi” sapa salah satu perempuan itu.
“Selamat pagi. Ada apa ya?” tanyaku dengan sedikit kebingungan.
“Bapak dan ibu kamu ada?”
“Ada. Mari, silahkan masuk.”
Setelah keduanya aku persilahkan duduk, akhirnya kedua wanita itu mengutarakan niatnya. Ibu dan bapak juga turut duduk diruang tamu. Kedatangan mereka tidak lain adalah untuk meminta maaf. Siapa lagi kalau bukan bu Rina dan anaknya. Bu rina membuka pembicaraan panjang lebar. Kejadian kemarin merupakan suatu kesalahan yang memalukan, kata bu Rina.
“Tidak apa-apa bu, kami semua sudah memaafkan kejadian kemarin” kata ibu disela-sela pembicaraannya.
“Sekali lagi kami minta maaf, saya benar-benar tidak tahu jika baju itu sudah robek sebelumnya, saya sudah terlalu emosi. Jika ada fitnah yang membuat langganan ibu tidak ada yang kesini, sungguh saya meminta maaf kepada keluarga ini. Kejadian kemarin semoga tidak memutuskan tali silaturahmi diantara kita pak, bu.”
“Bu Rina, kita semua adalah tetangga. Tidak baik bila salah satunya menyimpan rasa dendam. Masalah yang sudah berlalu jangan diungkit-ungkit. Kami semua sudah memaafkan ibu” Kata bapak.
Apakah bapak benar-benar sudah melupakan kesalahan bu Rina dan memaafkan begitu saja, ataukah bapak hanya melupakan sejenak demi menjaga tali silaturahmi? Bu Rina, anda orang yang cukup terpandang di desa ini, kaya, dan seakan hidup anda sempurna. Lalu bagaimana mungkin anda bisa berbuat demikian kepada keluarga kami. Semua langganan ibu pergi. Ibu harus mencari pekerjaan lain dengan susah payah hanya karena masalah ini. Apakah ibuku pernah merusak kedamaian hidup anda? Sungguh keterlaluan. Lantas bagaimana dengan air mata ibu yang terlanjur menetes ditengah gelapnya malam, hatiku turut merasa sakit. Bapak marah dan menganggap ibu wanita tidak pecus. Itu semua karena masalah yang anda buat bu Rina. Bukankah anda yang lebih miskin disini? Miskin hati. Lalu sekarang anda datang pagi-pagi untuk meminta maaf dengan begitu mudah. Ini tidak adil.
Ibu tertunduk. Semuanya diam. Akupun terdiam dengan banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran.