Rabu, 12 Oktober 2016

Bertahan

Hai-hai, ini ada dua cerpen yang bakal nemenin kalian yang lagi pada kesepian. Selamat membaca.


BERTAHAN
Berawal dari rasa yang dianggap biasa lalu tumbuh menjadi butiran mutiara penghias jiwa. Sesosok pria mencoba menyimpan sendiri rasa yang ia miliki. Seperti ingin menjadi pahlawan dalam hidup seseorang, namun hanya khayalan. Bukan pahlawan yang berjuang dalam medan pertempuran atau semacamnya, hanya saja ingin menjadi berarti dalam hidup wanita yang ia sayangi dan ia anggap sebagai mutiara penghias jiwa. Adi, begitu orang lain memanggilnya.
Menimba ilmu dalam sebuah kampus, Adi yang satu angkatan dengan Fani memulai hubungan pertemanan mereka sejak masa ospek. Perempuan cantik yang mempercayai adanya keajaiban cinta itu semakin membuat Adi kagum, kagum tanpa alasan. Fani sendiri mempunyai teman dekat yang bernama Fajar, cowok tampan yang terkenal di lingkungan kampus.
Pada awalnya Fani ragu akan kedekatannya dengan Fajar. Pertemuan singkat dan perkenalan yang terjadi begitu saja menjadi keajaiban tersendiri dalam pertemanan kedua anak manusia itu. Namun seiring berjalannya waktu, keduanya saling merasa nyaman. Terjalinlah sebuah alur cerita yang terbingkai indahnya cinta. Menjalani hari dengan kebersamaan yang hampir setiap hari terjadi tentu membuat hubungan mereka semakin erat. Hari-hari indah yang mereka lewati terekam rapi dalam memori yang tidak akan terganti. Meninggalkan kenangan yang sulit dilupakan. Semua terlihat membahagiakan. Bagaimana tidak, Fajar yang satu jurusan dengan Fani rela menjemput sang gadis pujaan yang rumahnya dua kali lebih jauh dari rumah Fajar. Itulah sebagian dari perjuangan sang pangeran untuk putri impian. Tanpa rasa malu ataupun sungkan, Fani selalu mengiyakan tawaran Fajar untuk menjemputnya. Terkadang pacarpun bisa dijadikan ojek, tidak perlu menguras kantong, gratis.
Bersama bergantinya malam menjadi siang, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Layaknya kisah cinta cinta Romeo-Juliet yang berakhir tragis karena sebuah kematian. Kisah cinta Fajar dan Fanipun tidak berjalan mulus. Munculnya orang ketiga dalam hidup Fajar membuat Fani seakan tidak percaya. Namun akhirnya ia melihat sendiri bahwa itu adalah benar adanya. Fani putus asa. Rasa yang terlanjur ada harus terbayar dengan perihnya luka. Memang terkadang ketulusan tidak terbalaskan, akan tetapi setidaknya mendapat pengertian, bukan sebuah penghianatan.
“Ada satu alasan yang akan lebih baik jika kamu tidak mengetahuinya” kata Fajar di suatu sore. Sinar jingga masih samar terlukis di ujung sana. Wajah sendu Fani jelas terlihat dibawah topi merah bermotifkan bunga yang ia pakai. Fajar terus saja menjelaskan kalimat-kalimat yang membuat hati Fani semakin kacau. Tidak terasa air mata memenuhi setiap sudut bola matanya. Tertunduk, mencoba menguatkan diri sendiri. Hasil akhirnya adalah Fani tetap menangis. Ya, itulah perempuan. Ketika ia tidak mampu lagi menjelaskan apa yang ia rasa, air matalah yang berbicara.
“Apakah aku yang terlalu sabar dalam cerita ini, ataukah aku yang terlalu bodoh, mempercayai cinta yang pada kenyataannya itu tidak pernah ada. Lalu dimana janji-janji manis yang kamu ucapkan waktu itu, Fajar?” Kata Fani dengan suara yang hampir tidak terdengar karena menangis.
“Maafkan aku” jawab Fajar singkat.
 Lagi-lagi kata maaf terucap untuk yang kesekian kalinya dari mulut Fajar. Maaf yang hanya sekedar maaf. Fani benar-benar tidak menyangka jika hubungannya dengan Fajar akan berhiaskan air mata hanya karena orang ketiga.
“Lupakan cerita kita Fajar. Kamu sudah bersama yang lain. Lalu kenapa kamu masih disini bersamaku? Aku bukan siapa-siapa lagi untukmu. Ya, aku akan pergi. Itukah yang kamu inginkan?”
“Yang aku inginkan bukan seperti itu Fani. Aku memang salah disini. Tapi aku akan tetap bersamamu. Sekali lagi maafkan aku”
Tanpa sepatah kata Fani pergi meninggalkan Fajar. Tertatih bersama langkah yang seakan tidak mampu lagi menyusuri gelapnya jalanan malam. Gelap, semua turut menjadi gelap dalam hati Fani. Berkali-kali ponselnya berdering. Tujuh panggilan tidak terjawab dari Fajar. Baginya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Semua sudah telihat jelas. Mulai saat itulah Fani mengganggap hubungannya dengan Fajar hanya sebuah kesalahan yang telah berakhir.
***
Sinar jingga nampak anggun diunjung sana. Mengiri langkah kaki seorang lelaki yang mencoba mengumpulkan keberaniannya demi menemui seseorang yang spesial di hatinya.
“Permisi”
“Siapa?” tanya seorang perempuan dari balik pintu.
Setelah membukakan pintu, raut muka Fani berubah seketika. Adi datang kerumahnya, sendiri, dengan wajah malu-malu yang membuatnya terlihat semakin lucu. Tidak ada yang salah dengan kedatangan Adi, namun Fani sepertinya belum siap akan hal itu.
“Kaget ya?” tanya Adi.
“Tidak. Kamu tumben main ke sini?”
“Iya, tadi baru dari rumah saudara dan sekalian mampir kesini.”
 Lama mereka saling diam dengan pertanyaan yang sebenarnya sudah memenuhi otak masing-masing tetapi mereka malu untuk mengungkapkan.
“Ngomong-ngomong ini kan hari Minggu, kok kamu dirumah?” Pertanyaan Adi menyadarkan Fani dari lamunan. Ada apa dengan hari minggu? Bukankah itu hari yang sama dengan hari-hari sebelumnya, hanya cara menjalaninya yang berbeda.
Akhirnya mereka berbincang-bincang cukup lama. Baguslah, setidaknya hal itu dapat menghilangkan rasa kacau yang menyerang hati Fani. Adi belum tau benar akan cerita pilu tentang Fani dan Fajar, yang Adi tau hanya kedekatan keduanya, itupun ia ketahui dari Tino, temannya yang juga teman Fajar sejak SMA. Tino menceritakan sebagian kisah cinta Fajar, bahkan sebelum ia bersama dengan Fina. “Fina jatuh pada lubang yang salah.” Begitu kata Tino pada suatu pagi. Adi sendiri tidak paham dengan kata-kata Tino.
“Bro, kata anak-anak Fajar putus dengan si Fani”
Mendengar ucapan Tino Fajar melongo kaget. Ada perasaan senang, kasihan dan perasaan lain yang mendorongnya untuk bertanya lebih jauh kepada Tino.
“Putus? Arhg, gosip. Mungkin mereka lagi ada masalah jadi ada yang menjauh.”
“Kok tumben, langsung menjawab. Wah, sepertinya ada sesuatu dengan temanku yang satu ini.” Mendengar ucapan Tino wajah Adi memerah, segera saja ia menutupinya dengan pergi dari hadapan sahabatnya itu. Ya, kamu benar Tino ada sesuatu yang sudah lama terpendam dalam hati ini. Jika saja aku dapat menjelaskannya, mungkin ada sedikit beban yang akan hilang. Namun sebelum itu terjadi, aku sudah berfikir bahwa itu tidak mungkin. Kamu tau Fina, dia cewek cantik yang seleranya cukup berkelas. Aku takut setelah dia mengetahui perasaanku lantas dia membenciku dengan alasan yang membuat hatiku semakin pedih. Itu tidak mungkin terjadi Tino. Cukup aku dan perasaanku yang akan menyimpan rapi semua rasa ini. Selama aku bisa.
Rupanya cerita Tino kemarin masih saja menari dalam angannya. Terasa mengganggu. Lalu secara diam-diam Adi lebih memperhatikan Fani, demi menjawab rasa penasarannya sendiri. Lama-kelamaan dia semakin percaya dengan cerita Tino, Fani memang putus dengan Fajar. Semenjak putus, Fani lebih sering jalan sendiri ke kampus. Dia juga jarang terlihat nongkrong dikantin bersama teman-temanya. Apakah dengan berakhirnya sebuah hubungan lantas semangatmu juga berakhir bersamanya
***
Malam mulai datang menjelang, dengan sinar rembulan yang menemani gemerlap bintang. Lama Adi memutar-mutar ponsel ditangannya. Berkali-kali ia mengetikkan beberapa tulisan di layar ponsel, ujung-ujungnya adalah dihapus. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Tino.
Tidak lama kemudian, terdengar seseorang mematikan mesin motor di garasi. Tino, datang dengan wajah lesu karena bangun tidur.
“Penting banget ya jam segini harus kesini?” Tanya Tino sembari mengehempaskan tubuhnya di kamar Adi.
“Ini lebih baik dari pada kamu tidur.”
“Sialan!!”
Tino berniat meneruskan tidur. Mengambil bantal diatasnya dan melayang menuju alam mimpi. Tetapi selera tidurnya hilang seketika. Di bawah bantal yang ia ambil ada satu foto yang membuat Tino tertawa terbahak-bahak.
“Oh, jadi ini yang sering membuat seorang Adi kacau tanpa alasan.”
“Apaan sih!!” Dengan sekali lompatan foto itu kembali dalam genggaman Adi. Tino yang masih tertawa dengan suaranya yang memenuhi seisi ruangan akhirnya penasaran dengan apa yang sebenarnya Adi sembuntikan. Mulailah dia mewawancarai si Adi.
“Foto Fani sewaktu ospek.”
“Ada yang salah?” Tanya Adi dengan raut muka yang aneh.
“Cie malu, pura-pura marah. Ciee..Eh, ngomong-ngomong lo suka sama si Fani?”
“Ha? Enggak.” Jawab Adi singkat.
“Bilang aja iya. Dari awal gue sudah curiga. Setiap kali ada cerita soal Fani pasti lo semangat buat nyimak. Pas Fani jadian sama Fajar, muka lo kucel banget. Terus pas kita ketemu Fani jalan sama Fajar lo tiba-tiba marah ke gue. Fani pulang dari kampus lo yang nawarin mau ngantar, padahal kan jelas-jelas ada Fajar. Jujur aja bro, lo suka sama Fani? Kalau memang iya, kenapa nggak diungkapin sebelum diambil yang lain.” Mendengar ocehan Tino, Adi merasa semakin kepepet. Akhirnya ia menjelaskan perasaannya selama ini.
“Kamu tidak akan pernah tau apa yang aku rasakan. Dulu aku sempat menyindir Fani tentang hal ini melalui SMS. Kamu tau apa jawabannya? –Aku tidak lebih baik dari seorang Fajar-. Banyak hal yang aku lakukan untuk dia, tetapi itu hanya demi membuktikan bahwa aku benar-benar ada untuknya. Aku tidak mengharap balasan dan yang Fani tunjukkan adalah rasa tidak mau tau.”
“Sabar bro. Ketulusanmu tidak akan sia-sia. Percaya itu.” kata Tino demi menenangkan hati Adi.
Sedikit lega ada teman untuk berbagi, tetapi dengan resiko, cepat atau lambat pasti cerita ini bakal terkuak kepermukaan. Tidak. Sebelum itu terjadi, Adi berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkapkan perasaannya sendiri. Ia memberanikan diri untuk bertemu dengan Fani.
Kala bola raksasa telah lelah berjalan bersama sinarnya dan waktu terus berputar mengikuti kodratnya, Adi melangkahkan kakinya dengan gemetar
“Ada apa Di, tumben sore-sore main kesini.” Tanya Fani.
“Jalan-jalan yuk, cari angin”
“Oke. Kebetulan aku lagi sepi dirumah. Sebentar ya, aku ganti baju dulu”
Setelah beberapa menit kemudian, mereka melesat jauh ke suatu tempat bersama motor matic kesayangan Adi.
“Apakah ada hati yang harus dijaga?” tanya Adi setibanya di suatu tempat.
“Ha?! Maksudnya?” Fani kaget mendengar pertanyaan-pertanyaan yang terus saja Adi lontarkan. Akhirnya Adi memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatinya. Ini bukan menembak atau kencan atau apalah yang sering dilakukan oleh orang yang sedang jatuh cinta. Ini hanya mengutarakan perasaan yang sudah lama menyiksa.
“Maaf jika ini akan membuatmu sedikit kacau. Tapi mungkin ini akan lebih baik bila diungkapkan. Jika kamu tanya tentang alasan aku melakukan ini, aku tidak bisa menjawabnya, karena rasa itu hadir dengan begitu saja. Awalnya aku berfikir ini hanya rasa kagum semata, tetapi kenyataannya lebih dari itu.”
“Apa maksud kamu Di? Kamu tau kan kalau kita ini teman. Aku harap kamu tidak akan merusak pertemanan kita dengan hal-hal seperti itu.”
Tuhan, tidakkah dia tau tentang apa yang aku rasakan. Tentang gejolak yang menyiksa jiwa setiap kali aku melihat dia dengan yang lainnya. Bagaimana aku harus menjelaskan, bahkan lidahku dibuatnya kelu untuk mengungkapkan. Aku mencintaimu Fani. Aku tau rasa ini tidak seharusnya ada dalam hatiku, namun apakah salah bila aku mendamba sedikit ruang dalam hatimu
Deburan ombak seakan memecah kebisuan diantara mereka. Semilir angin mencoba membelai dibalik kemuning senja. Suasana sekitar yang nampak damai menciptakan sebuah kenyamanan yang  mendamaikan jiwa. Namun tidak bagi jiwa manusia yang sedang dilanda rasa berdosa.
“Maafkan aku Di. Tidak ada yang salah dengan perasaanmu. Aku hanya tidak bisa jika harus membalasnya. Terimakasih karena sudah peduli padaku. Terimakasih karena aku pernah kau berikan tempat dihatimu. Tapi maaf, aku tidak akan pernah bisa memberikan tempat yang sama untukmu.”
Mendengar penjelasan Fani, harapan Adi seketika hancur bagai diterjang gelombang. Ia tidak mampu lagi untuk berkata-kata. Karena sekuat apapun ia mencoba menjelaskan, tetap saja Fani tidak akan menerimanya.
Haruskah rasa ini kubiarkan tenggelam bersama senja, ataukah cukup ku biarkan terbawa ombak ke tengah samudra dan membiarkanya kembali menepi ditempat yang berbeda? Tidak. Ia tidak akan berada di tempat yang berbeda. Ia masih sama, berada di ruang hatiku dengan kunci yang sama.
----------------END-----------


BUNGA TIDUR JAGOAN MAMA

Terlahir menjadi seorang laki-laki dari sepasang raja dan ratu yang telah mengindahkan hidupku. Ucapan beribu terimakasih sama sekali tidak cukup untuk kupersembahkan kepada mereka. Bahkan sekuat apapun usahaku tetap saja akan kalah dengan kasih sayangnya yang tidak terhingga.
Mereka yang sering dipanggil bapak dan ibu ataupun ayah dan mama ataupun memanggil dengan panggilan spesial lainnya, setiap hari membanting tulang demi buah hati tercinta. Dimulai dari fajar yang masih enggan nampak dipersinggahannya, hingga sang mega datang menjemput bola raksasa menuju peraduannya. Itu semua tidak lain hanya untuk permata tercinta. Permata yang terkadang mematahkan hati pejuangnya, dengan segala tingkah yang terkadang tidak terarah.
Aku putra satu-satunya dari dua bersaudara. Kakakku adalah seorang wanita cantik yang sudah bisa membanggakan ayah dan ibu. Sedangkan aku masih menempuh jenjang perguruan tinggi. Itupun dengan rasa malas yang selalu membebani. Kuliah mendadak, dosen ribet minta ini-itu, revisi, presentasi, dan tugas-tugas lain yang selalu teringat disela-sela ngopi, layaknya hantu yang selalu mengikuti. Menyeramkan!!
Sewaktu duduk dibangku SMA aku  berfikir bahwa kuliah itu menyenangkan, dengan segala warna-warni cerita layaknya yang tayang di televisi. Setelah benar-benar dijalani, semua warna-warni cerita itu hanya sebuah mimpi. Arrghh!! Tenang. Bagi anak laki-laki semua masih bisa dibuat santai.
“Kamu tidak berangkat kuliah?” tanya ibu yang entah di mana keberadaannya. Hanya suara khasnya yang terdengar keras memenuhi seisi ruangan. Aku masih terbaring di istana terindahku, kamar. Ibu yang terus saja mengulangi pertanyaannya membuatku bangkit dan segera menampakkan diri. Setelah mencuci muka segera saja kupacu gas motor dengan sedikit cepat. Ada saatnya mandi merupakan hal yang kurang diminati untuk beberapa kondisi. Sekitar pukul tiga sore aku berangkat menuju kampus. Menyusuri jalan yang semakin hari kian ramai dengan berbagai macam bentuk manusia.
“Wuisstt, tumben jagoan mama datang lebih awal” sapa salah satu temanku yang umurnya paling tua di kelas.
Huh!! Lagi-lagi nama panggilan itu keluar dari mulut seseorang. Telingaku sudah cukup panas mendengarnya. ‘Jangoan mama’ adalah nama panggilanku sewaktu SMA. Aku yang begitu diperhatikan oleh kedua orangtuaku, terlihat seperti anak kecil yang begitu dimanja. Lengkap dengan sikapku yang terlihat konyol dan kekanak-kanakan muncullah nama panggilan tersebut. Aku sendiri terkadang merasa lucu sekaligus aneh dengan nama panggilan itu, jagoan mama.
Kulangkahkan kaki menuju ruang kelas yang jaraknya tidak jauh dari tempat parkir.
“Dosennya belum datang?” tanyaku kepada gadis berwajahkan ayu, teman satu kelasku.
“Hari ini jam kosong. Dosen hanya memberikan beberapa tugas yang harus segera dikumpulkan.”
Bagus. Semangat yang mencoba kubangun demi berangkat kuliah akhirnya hilang seketika. Jam kosong. Kuliah akan berakhir buruk jika jam kosong. Main, ngegosip, nonton film, memutar lagu, dan yang lainnya. Itu adalah sebagian dari kebiasaan yang teman-teman lakukan jika jam kosong, baik laki-laki maupun perempuan. Akupun juga tidak lupa turut berpartisipasi di dalamnya. Saat itulah kelas seketika berubah menjadi pasar. Suatu saat nanti saat-saat seperti itulah yang akan dirindukan ketika semua sudah berjauhan.
***
Ada satu perempuan yang selalu mengganggu kedamaian jiwaku. Perempuan mungil berwajahkan ayu. Mencoba mengusik dengan bayang semu disetiap lamunan panjangku. Ia hadir dalam hariku, selalu. Ada sedikit rasa kecewa karena telah melepaskannya. Ya, dulu kami pernah ada hubungan spesial. Namun akhirnya kandas ditengah jalan.
Aku begitu hancur waktu itu, hancur karena kesalahan yang aku perbuat sendiri. ‘Jagoan mama’ sempat mengurai air mata. Terlebih setelah aku mengetahui bahwa dia sudah menggandeng pria lain. Penyesalan memang selalu hadir belakangan. Itu merupakan hal terburuk yang pernah aku lakukan. Tantri, begitulah teman-teman di kampus memanggilnya.
Ada satu hal
Yang akan baik jika kamu tau
Namun sejuta keberanianku
Belum mampu merangkai itu untukmu
Tidakkah kamu tau
Rasaku masih tersimpan rapi untukmu
Satu SMS meluncur untuk perempuan yang selalu mengusik jiwaku. Itulah hal yang sering aku lakukan untuknya. Mengirimkan kata-kata atau sekedar bertanya tentang apa yang sedang ia lakukan. Banyak pesan-pesanku yang tidak mendapat balasan. Namun aku percaya bahwa itu semua ada alasannya.
Ponselku tiba-tiba berdering dengan suara bayi menangis yang berarti bahwa ada pesan masuk.
“Maksudnya?” Yes, pesan balasan dari si dia. Dengan segera aku menjawabnya.
“Iseng aja. Belum tidur?” Lama setelah aku membalas pesan dari dia, ibu terdengar berisik di depan pintu kamar.
“Sudah jam segini belum tidur juga. Masih main gadget. Kamu fikir kamu bisa hidup hanya dengan gadget kamu itu.”
Hah!! Kata-kata ibu selalu saja terdengar berisik. Suaranya yang begitu nyaring menghampiri telingaku hampir setiap jam. Tetapi suara itulah yang membuatku selalu merindukan suasana rumah. Setelah suara ibu tidak lagi terdengar, segera saja aku berpura-pura tidur, hingga akhirnya benar-benar terlelap. Tenggelam bersama mimpi-mimpi indah yang kerap kali membuatku tersenyum sendiri saat terbangun. Ah, tapi tidak, mimpi itu tidak selalu indah.
Malam kian larut dengan suasana gelap yang semakin mencekam. Binatang malam menari riang sedari tadi. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 12. Sinar rembulan nampak mesra bersatu bersama gemerlap cahaya bintang di atas sana.
***
“Aku hadir disini untukmu.” Sebuah bayangan mengagetkanku dengan suara lembutnya.
Aku tidak dapat mengatakan hal apapun. Bayangan itu semakin nyata, semakin pendekat. Ia ternyata adalah sesosok perempuan yang selama ini sudah tidak asing dalam hidupku. Perempuan cantik yang selama ini mengganggu pikiranku. Berbalut gaun yang menjuntai anggun. Sayap yang begitu kokoh dan indah. Perlahan aku mencoba mendekati sayapnya hingga benar-benar tepat di depanku. Tidak ada lagi yang dapat terlukis selain rasa kagum namun juga kaget.
“Tantri, benarkah itu kamu? Bagaimana bisa kamu menjelma menjadi seorang bidadari, lantas apa yang membuatmu datang menemuiku?” tanyaku dengan gemetar.
“Bukankah ini yang kamu inginkan, aku bisa hadir kembali dalam hidupmu. Memerima cintamu kembali seperti dahulu.”
“Tapi, tapi bagaimana bisa kamu berubah seperti ini?”
“Lupakan itu. Bukankah kamu jagoan mama, seharusnya kamu bisa menjadi jagoan dalam hidup dan hatiku”
Belum sempat aku menjawab, ia telah pergi. Terbang dengan sepasang sayapnya. Dengan langkah yang begitu berat aku mencoba mengikutinya. Menyusuri jalan yang berkabut tanpa seorangpun menemani.
“Dimana kamu bersembunyi?”
Lelah aku mencari di tempat itu. Teriakpun tidak membuatnya menampakkan wujud. Berkali-kali aku mencari, berputar-putar kesana kemari tetapi sepertinya aku tetap pada tempat yang sama. Tempat yang penuh kabut hingga mengaburkankan pandangan.
“Apakah kamu ingin bersamaku?” Suara itu terdengar dari kejauhan. Lalu datang sebuah bayangan. Semakin dekat. Bayangan itu semakin mendekat kearahku. Dia kembali.
“Ya, dengan senang hati aku ingin bersamamu. Tetapi kenapa kamu berada ditempat seperti ini?” tanyaku penasaran.
“Tidakkah kamu bermimpi bahwa suatu saat kita dapat hidup bersama di tempat ini? Sebelum kamu menjawabnya aku mempunyai surat untuk kamu. Bacalah.”
 Dengan segera aku membukanya, demi mengobati rasa penasaran yang sedari tadi mengikuti.
Bukan dalam nyata aku ada
Mungkin hanya seberkas cahaya tanpa rupa
Yang mencoba kau sentuh
Dengan cinta tulusmu
Kau beranikan terbang dengan sayapmu
Banyak  rintangan yang tiada ku tahu
Maafkan
Untuk cintamu yang tidak terbalaskan
Aku tidak tahu apa maksud dari surat itu. Kabut semakin tebal menyelimuti. Rasa dingin terasa semakin menusuk kulit. Baju tebal yang ku kenakan tidak dapat mengurangi edikitpun rasa dingin itu.
“Kamu pernah bilang bahwa rasa itu tidak akan hilang. Namun pada kenyataannya kamu meninggalkanku tanpa alasan. Bukankah ini tidak adil, dan sekarang kamu mulai kacau memikirkanku, berusaha mendapatkanku kembali dengan cinta palsumu. Kamu akan merasakan rasa sakit ini. Itu pasi. Pasti!! Hahaha..” Suara perempuan itu semakin terdengar menyeramkan. Teriakan yang diiringi tawa membuat bulu kudukku merinding. Aku melangkah mundur, berharap dia dapat menjauh. Namun hal lain justru terjadi di depan mataku, sayap anggun yang mempesona itu tiba-tiba berubah menjadi duri-duri tajam layaknya monster yang siap menerkam tubuhku. Gaun putih yang menjuntai indah berubah menjadi jubah hitam mengerikan. Ingin rasanya aku berlari meninggalkan tempat aneh ini. Namun apa daya, aku hanya bisa terdiam lemas tak berdaya.
Nafasku memburu layaknya lomba lari marathon. Kakiku tetap saja terasa membeku. Perlahan aku mendengar sebuah suara lantang yang memanggil namaku.
“Antoooo...”
Perlahan tempat berkabut, bidadari, monster, serta suara-suara aneh itu hilang, seiring kesadaranku kembali.
Brukkk!!
Pintu kamar terbuka dengan cukup keras.
“Jam segini masih saja tidur, cepat bangun.” Suara ibu terdengar begitu keras di telinga.
“Ah, ibu selalu saja mengomel. Ini kan masih pagi.”
“Jam sembilan kamu bilang masih pagi?” Nada bicara ibu semakin meninggi. Memang benar, kulirik jarum jam sudah hampir menunjukkan pukul sembilan.
Mataku masih berat untuk terbuka, rasanya ingin kembali menghempaskan tubuh ke kasur. Namun mengingat suara ibu yang begitu merdu memenuhi seisi ruangan, aku berusaha untuk duduk di tepi ranjang.
Gubrakk!!
Setelah kesadaranku benar-benar kembali sepenuhnya aku baru menyadari bahwa bidadari, monster, dan tempat berkabut itu hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang menjadi bunga tidur bagi ‘jagoan mama’ yang hatinya dilanda rasa kecewa.
Tidak mungkin itu bisa menjadi nyata
Melihatku hancurpun dia tidak lagi perduli
Aku tidak lagi kamu anggap pantas
Masih akan terus kucoba memperjuangkan rasa
Meskipun kamu sudah bersama dia
Sebesar itukah kesalahanku?
Ketahuilah,
Saat kamu merasa lelah
Menengoklah kebelakang
Aku masih tetap sama
Berdiri disana, selagi aku bisa
 


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar